Senin, 16 Desember 2013

Penyakit Hawar Daun Pada Kentang

PENDAHULUAN

Organisme Penganggu Tanaman (OPT) merupakan faktor pembatas produksi tanaman di Indonesia baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. Organisme pengganggu tanaman secara garis besar dibagi menjadi tiga yaitu : hama, penyakit dan gulma. Hama menimbulkan gangguan tanaman secara fisik, dapat disebabkan oleh serangga, tungau, vertebrata, moluska. Sedangkan penyakit menimbulkan gangguan fisiologis pada tanaman, disebabkan oleh cendawan, bakteri, fitoplasma, virus, viroid, nematoda dan tumbuhan tingkat tinggi.

Perkembangan hama dan penyakit sangat dipengaruhi oleh dinamika faktor iklim. Sehingga tidak heran kalau pada musim hujan dunia pertanian banyak disibukkan oleh masalah penyakit tanaman seperti penyakit kresek dan blas pada padi, antraknosa cabai hawar daun pada kentang dan lain sebagainya. Sementara itu pada musim kemarau banyak masalah yang disebabkan oleh hama penggerek batang padi, hama belalang kembara, serta thrips pada cabai.

Konsep Segitiga Penyakit :
Konsep ini berawal dari Ilmu Penyakit Tumbuhan, namun juga dapat diterapkan pada bidang ilmu hama. Pada dasarnya penyakit hanya dapat terjadi jika ketiga faktor yaitu :
• Inang dalam keadaan rentan,
• Patogen bersifat virulen (daya infeksi tinggi) dan jumlah yang cukup, serta lingkungan yang mendukung.
• Lingkungan berupa komponen lingkungan fisik (suhu, kelembaban, cahaya) maupun biotik (musuh alami, organisme kompetitor).



Dari ketiga konsep tersebut jelas sekali bahwa perubahan salah satu komponen akan berpengaruh terhadap intensitas penyakit yang muncul.
HAWAR DAUN KENTANG

Kentang merupakan salah satu komoditas sayuran yang penting di Indonesia. Penyakit hawar daun yang disebabkan oleh jamur Phytophthora infestans adalah penyakit yang sangat penting pada tanaman kentang di Indonesia. Penyakit ini mempunyai makna sejarah yang penting di Eropa, karena pada periode 1830-1845 telah menimbulkan kerusakan pada pertanaman kentang di Eropa dan Amerika. Kerusakan yang ditimbulkan penyakit tersebut telah menimbulkan kelaparan besar di Irlandia yang mengakibatkan ratusan ribu penduduk meninggal. Peristiwa ini dikenal dalam sejarah sebagai The Great Famine. Sejak saat itu, penyakit ini telah menjadi kendala utama produksi kedua komoditas pertanian tersebut di dunia, terutama di daerah yang beriklim sejuk dan lembab.
Pada kentang, patogen hawar daun mula-mula dideskripsi di Perancis pada tahun 1845 oleh Montagne. Pada tahun 1876, setelah melakukan penelitian selama bertahun-tahun, Anton de Bary mengukuhkan nama patogen Phytophthora infestans sebagai penyebab penyakit hawar daun pada kentang.
Penyakit hawar daun sangat merusak dan sulit dikendalikan, karena Phytophthora infestans merupakan jamur patogen yang memiliki patogenisitas beragam. Pada umumnya, patogen ini berkembangbiak secara aseksual dengan zoospora, tetapi dapat juga berkembangbiak secara seksual dengan oospora. Jamur ini bersifat heterotalik, artinya perkembangbiakan secara seksual atau pembentukan oospora hanya terjadi apabila terjadi mating (perkawinan silang) antara dua isolat Phytophthora infestans yang mempunyai mating type (tipe perkawinan) berbeda.




PENYEBAB dan GEJALA
PENYAKIT HAWAR DAUN KENTANG

Penyakit hawar daun kentang disebabkan oleh cendawan Phytophthora infestans , yang semula disebut Botrytis infestans Mont. Miselium interseluler tidak bersekat, mempunyai banyak houstorium. Konidiofor keluar dari mulut kulit, berkumpul 1-5, dengan percabangan simpodial, mempunyai bengkakan yang khas. Konidium berbentuk buah peer, 22-32 x 16-24 µm, berinti banyak 7-32. Konidium berkecambah secara tidak langsung dengan membentuk hifa (benang) baru, atau secara tidak langsung dengan membantuk spora kembara, konidium dapat juga disebut sebagai sporangium atau zoosporangium. Cendawan ini dapat membentuk oospora meskipun agak jarang. Jamur P. infestans diketahui mempunyai banyak ras fisiologi.
Gejala awal bercak pada bagian tepi dan ujung daun, bercak melebar dan terbentuk daerah nekrotik yang berwarna coklat. Bercak dikelilingi oleh massa sporangium yang berwarna putih dengan belakang hijau kelabu. Serangan dapat menyebar ke batang, tangkai dan umbi. Perkembangan bercak penyakit pada daun paling cepat terjadi pada suhu 18˚C - 20˚C. Pada suhu udara 30˚C perkembangan bercak terhambat. Oleh karena itu di dataran rendah ( kurang dari 500 dpl ) penyakit busuk daun tidak merupakan masalah. Epidemi penyakit busuk daun biasanya terjadi pada suhu 16˚C - 24˚C. Didataran tinggi di Jawa, busuk daun terutama berkembang hebat pada musim hujan yang dingin, antara bulan Desember dan Februari.
Daun-daun yang sakit mempunyai bercak-bercak nekrotik pada tepi dan ujungnya. Kalau suhu tidak terlalu rendah dan kelembaban cukup tinggi, bercak-bercak tadi akan meluas dengan cepat dan mematikan seluruh daun. Bahkan kalau cuaca sedemikian berlangsung lama, seluruh bagian tanaman di atasakan mati. Dalam cuaca yang kering jumlah bercak terbatas, segera mengering dan tidak meluas. Umumnya gejala baru tampak bila tanaman berumur lebih dari satu bulan, meskipun kadang-kadang sudah terlihat pada tanaman yang berumur 3 minggu.


Gambar 1. Serangan Phytophthora Infestan pada daun kentang

Pembentukan penyakit busuk daun ini bervariasi sesuai kondisi lingkungan. Kelembaban relative, suhu, intensitas cahaya, dan pemeliharaan kentang itu sendiri akan mempengaruhi gejala yang timbul. Daun yang sakit terlihat berbecak – bercak pada ujung dan tepi daunnya dan dapat meluas ke bawah serta mematikan seluruh daun dalam waktu 1 sampai 4 hari; hal ini terjadi jika udara lembab. Bila udara kering jumlah daun yang terserang terbatas, bercak – bercak tetap kecil dan jadi kering dan tidak menular ke daun lainnya.
Di lingkungan tropis, tanaman kentang akan terus berkembang, sehingga udara umumnya inokulum memulai awal terjadinya penyakit pada lahan baru. Di daerah dataran rendah, tanah atau sisa – sisa tanaman diperkirakan menjadi tempat yang sesuai bagi pathogen antara musim. Jamur juga akan bertahan hidup dalam umbi yang terinfeksi tetap di tanah dari musim sebelumnya. Benih juga bisa terinfeksi dan menjadi tempat hidup pathogen. Ketika tunas baru dihasilkan dari benih atau umbi tua yang terinfeksi, jamur tersebut akan menginfeksi tunas baru tersebut, kemudian sporulates dari pertumbuhan baru ini serta sporangia akan tersebar di udara atau di air.
SIKLUS PENYAKIT HAWAR DAUN

Patogen dapat tersebar sampai ke batang dengan sangat cepat dalam jaringan korteks yang menyebabkan kerusakan sel didalamnya. Selanjutnya, miselium tumbuh diantara isi sel batang, tetapi jarang terdapat dalam jaringan vaskuler. Miselium tumbuh menembus batang sampai ke permukaan tanah. Ketika mesilium mencapai udara disekitar bagian tanaman miselium memproduksi sporangiospor yang dapat menembus stomata dan menetap serta menyebar melalui daun. Sporangiospor akan terlepas dan menyebabkan infeksi baru, sel-sel dimana miselium berada dapat mati dan menjadi busuk, miselium menyebar luas sampai ke bagian yang sehat. Beberapa hari setelah infeksi baru, sporangiospor timbul dari stomata dan memproduksi banyak sporangia yang dapat menginfeksi tanaman baru.
Selama musin hujan, sporangia terbawa sampai ke tanah. Umbi dekat permukaan tanah dapat terserang zoospore yang bertunas dan berpenetrasi pada umbi menembus lenti sel atau melalui luka alami atau luka akibat serangga dan alat pertanian.

Cendawan Phytophthora infestans dapat mempertahankan diri dari musim kemusim dalam umbi-umbi yang sakit, jika umbi yang sakit ditanam, cendawan ini dapat naik ke tunas muda yang baru saja tumbuh dan membentuk banyak konidium atau sporangium. Demikian pula umbi-umbi sakit yang dibuang, dalam keadaan yang cocok dapat bertunas dan menyebarkan konidium. Karena cendawan ini dapat membentuk oospora, maka cendawan dapat mempertahankan diri dalam bentuk ini juga, dan konidium dapat dipencarkan oleh angin dari sumber infeksi ke tanaman lain.

Gambar 2. Daur Hidup Phytophthora Infestan

Daur hidup dimulai saat sporangium terbawa oleh angin. Jika jatuh pada setetes air pada tanaman yang rentan, sporangium akan mengeluarkan spora kembara (zoospora), yang seterusnya membentuk pembuluh kecambah yang mengadakan infeksi (Rumahlewang, 2008). Ini terjadi ketika berada dalam kondisi basah dan dingin yang disebut dengan perkecambahan tidak langsung. Spora ini akan berenang sampai menemukan tempat inangnya. Ketika keadaan lebih panas, P. infestan akan menginfeksi tanaman dengan perkecambahan langsung, yaitu germ tube yang terbentuk dari sporangium akan menembus jaringan inang yang akan membiarkan parasit tersebut untuk memperoleh nutrient dari tubuh inangnya.



PENYEBARAN PENYAKIT HAWAR DAUN KENTANG

Hawar daun atau busuk daun (Phytophthora infestans) merupakan penyakit utama pada tanaman kentang dan beberapa spesies dan famili Solanaceae dan menimbulkan kerugian yang sangat besar di setiap pertanaman kentang dengan menunjukkan efek pada produksi umbi. Penyakit ini telah dijumpai sejak awal kedua tanaman tersebut dibudidayakan oleh petani, yaitu pada tahun 1794. Penyakit hawar daun ini menyebar luas disemua tempat pertanaman kentang di dunia. Di Indonesia diketahui bahwa penyakit ini terdapat di Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sulawesi Selatan dan dijumpai di Amerika Serikat, Irlandia, Jerman, Thailand, Malaysia, Belanda, dan Kepulauan Pasifik Selatan. Diduga penyakit ini semula berasal dari bibit kentang yang diimpor dari Eropa.
Di lapang, penyakit ini mula-mula menyerang daun kentang atau tomat. Pada infeksi yang berat seluruh daun yang terinfeksi mem-busuk, sehingga akhirnya tanaman mati. Penyakit ini juga dapat menyerang umbi kentang, meskipun di Indonesia jarang ditemukan gejala infeksi pada umbi. Infestasi penyakit hawar daun kentang tertinggi di Indonesia adalah Provinsi Jawa Tengah, karena Provinsi ini memiliki area perta-naman kentang yang paling luas, yaitu di Kabupaten Wonosobo.
Kerusakan oleh penyakit hawar daun dapat mengakibatkan penurunan hasil antara 10-100%. Di Belarusia (1999), Phytophthora infestans dapat menyerang daun-daun tanaman bagian atas (daun muda) pada awal periode pertumbuhan vegetatif tanaman dengan tingkat kerusakan daun mencapai 80-100% pada varietas yang berumur genjah, dan 70-80% pada varietas yang berumur sedang dan dalam. Hasil penelitian Sengooba dan Hakiza (1999), menunjukkan bahwa kehilangan hasil dapat melebihi 90%, jika patogen menyerang kultivar yang rentan pada awal pertanaman. Penelitian yang dilakukan di Ethiopia, Kenya, Rwanda, Uganda, dan Burundi menunjukkan bahwa kehilangan hasil dapat mencapai 40-70%, dan besarnya kehilangan hasil sangat tergantung baik pada kerentanan varietas maupun pada kondisi lingkungan tempat tumbuh.

KERAGAMAN GENETIK Phytophthora infestans

Status dan bentuk alat reproduksi dari Phytophthora infestans menjadi topik kontroversi setelah Worthington Smith (1875) menyatakan bahwa jaringan kentang yang terinfeksi oosporanya ditemukan di Inggris. Pada tahun 1876, de Bary mula-mula menyatakan bahwa oospora yang ada pada jaringan kentang yang sakit adalah kontaminan Pythium vexans, tetapi 15 tahun kemudian ia menyatakan bahwa oospora dapat dijumpai pada jaringan kentang yang terinfeksi Phytophthora infestans.
Selanjutnya, pada tahun 1956 de Bary membandingkan (pairing) isolat-isolatnya dengan isolat Phytophthora infestans yang berasal dari lembah dataran tinggi Toluka di Meksiko Tengah dan diperoleh ba-nyak sekali oospora (Niederhauser, 1956; Smoot et al., 1958). Biasanya mating type A1 membentuk banyak sporangia dan sporangiofora, sedangkan mating type A2 hanya membentuk agregat hifa saja. Sejak saat itu, telah dinyatakan bahwa selain isolat Phytophthora infestans dari Meksiko, isolat dari USA, Kanada, Eropa Barat, Afrika Selatan, dan India Barat tidak mem-punyai alat reproduksi seksual. Sampai tahun 1984, peneliti pada umumnya percaya bahwa mating type A2 hanya terdapat di Meksiko, sehingga menimbulkan pertanyaan.
Penelitian untuk mengidentifi-kasi populasi Phytophthora infestans menggunakan teknik genetika molekuler berdasarkan olimorfisme isoenzim diawali oleh Tooley et al. (1985). Setelah itu, banyak peneliti yang mempelajari ciri-ciri populasi Phytophthora infestans baik secara fenotipik maupun secara genotipik dengan menggunakan berbagai macam penanda, seperti mating type, allo-enzyme, sensitifitas terhadap metalaxyl, virulensi, serta sidik jari DNA nukleus (nuclear DNA fingerprint) dan sidik jari mitokondrial (mitochondrial DNA fingerprint) menggunakan teknik Restriction Fragment Length Polymorphism/RFLP.


Gambar 3. Morfologi Phytophthora Infestan


Setelah dianalisis genotipik alloenzymenya menggunakan enzim malat (Malic enzyme, Me) hasilnya menunjukkan nilai 90/90, dengan enzim glukose fosfat isome-rase (glucose phosphate isomerase, Gpi) menunjukkan nilai 100/100, sedangkan dengan enzim peptidase (Pep) menunjukkan nilai 96/96. Resistensi terhadap Senyawa Metalaxyl Di masa lalu, fungisida yang berbahan aktif metalaxyl sangat efektif untuk mengendalikan penyakit hawar daun. Tetapi penggunaannya yang berkepanjangan telah mengakibatkan munculnya strain Phytophthora infestans yang resisten terhadap senyawa metalaxyl.
Pada umumnya, patogen ini berkembangbiak secara aseksual. Cara ini dilakukan tanpa penggabungan sel kelamin betina dan sel kelamin jantan, tetapi dengan pembentukan spora yaitu zoospora yang terdiri dari masa protoplasma yang mempunyai bulu – bulu halus yang bisa bergetar dan disebut cilia, tetapi dapat juga berkembangbiak secara seksual dengan oospora, yaitu penggabugan dari gamet betina besar dan pasif dengan gamet jantan kecil tapi aktif.
PENGENDALIAN PENYAKIT HAWAR DAUN KENTANG


Pengendalian dengan cara resistensi adalah termasuk semua usaha yang tanaman menjadi imun, tahan atau toleran terhadap serangan patogen. Yang termasuk dalam resistensi adalah proteksi silang, ketahanan terimbas, aktivasi pertahanan tanaman, perbaikan kondisi pertumbuhan tanaman, dan penggunaan varietas tahan. Penggunaan varietas tahan bila varietas tersebut telah tersedia mempunyai beberapa kelebihan, yaitu murah, mudah, aman, dan merupakan salah satu cara pengendalian yang efektif untuk mengendaliakan penyakit tumbuhan. Penggunaan varietas tahan juga dapat mengurangi penggunaan fungisida sehingga mengurangi pencemaran akibat bahan racun tersebut. Tumbuhan dapat bertahan dari serangan patogen dengan sesuatu kombinasi dari dua senjata yang dimilikinya, yaitu :
• Sifat-sifat struktural yang berfungsi sebagai penghalang fisik dan menghambat patogen mendapatkan peluang masuk dan menyebar didalam tumbuhan.
• Reaksi-reaksi biokimia yang terjadi di dalam sel dan jaringan tumbuhan yang menghasilkan zat beracun bagi patogen atau menciptakan kondisi yang menghambat pertumbuhan patogen pada tumbuhan tersebut.
Kombinasi antara sifat struktural dan reaksi biokimia yang digunakan untuk pertahanan bagi tumbuhan berbeda antara setiap sistem kombinasi inang-patogen.
Ketahanan terhadap penyakit yang secara genetik dikendalikan oleh terdapatnya satu, beberapa atau banyak gen untuk ketahanan pada tumbuhan dikenal dengan ketahanan sejati ( true resistance). Pada ketahanan sejati, inang dan patogen sedikit banyaknya tidak cocok antara satu dengan yang lain, baik karena kekurangan pengenalan kimiawi antara inang dan patogen atau karena tumbuhan inang dapat bertahan dengan sendirinya dalam mengatasi patogen dengan berbagai mekanisme pertahanan yang telah tersedia, atau diaktivasi, sebagai respon terhadap infeksi patogen. Ada dua ketahanan sejati yaitu ketahanan horizontal dan ketahanan vertikal. Ketahanan horizontal adalah ketahanan yang ditentukan oleh banyak gen sama efektifnya terhadap semua ras pathogen, sedangkan ketahanan vertikal ditentukan oleh satu gen yang hanya efektif terhadap beberapa ras fisiologi atau strain patogen dan tidak menyebabkan ketahanan terhadap ras-ras lain.

PENELITIAN PENYAKIT HAWAR DAUN YANG PERLU DILAKUKAN DI INDONESIA

Penelitian penyakit hawar daun di Indonesia masih terbatas pada identifikasi ras Phytophthora infestans dan pengendalian penyakit dengan fungisida yangberbahan aktif metalaxyl saja. Oleh karena itu, kegiatan penelitian lain perlu dilakukan untuk mendukung keberhasilan upaya pengendalian penyakit hawar daun baik pada tomat maupun pada kentang seperti koleksi isolat, determinasi mating type, dan analisis alloenzyme maupun secara biomolekuler. Daun kentang yang terinfeksi Phytophthora infestans dikumpulkan dari beberapa provinsi di Indonesia. Potongan daun yang terinfeksi diinokulasikan pada medium agar rye B yang ditambah ampicillin sodium 200 ppm, nystatin 100 ppm, dan rifampicin 50 ppm kemudian diinkubasikan di ruang gelap pada suhu 20ºC. Setelah 2 minggu, miselia akan tumbuh kemudian dipindahkan pada medium agar miring rye A yang ditambah antibiotik seperti pada medium rye B dan disimpan pada suhu 18ºC di ruang gelap.
Kemungkinan keberhasilan metode isolasi tersebut besar, karena telah diperlakukan isolasi Phytophthora infestans dari Pacet dan Lembang (Jawa Barat) serta Wonosobo (Jawa Tengah) yang gagal dengan memakai metode isolasi yang dilakukan Mosa et al. (1989), yaitu dengan cara potongan daun kentang yang terinfeksi Phytophthora infestans diletakkan pada irisan kentang Irish Cobbler (r) pada kotak plastik yang diberi alas koran yang sudah dilembabkan dengan air destilasi kemudian diinkubasi pada inkubator dengan suhu 18º-20ºC. Setelah 5-7 hari, miselia akan tumbuh pada irisan kentang tersebut kemudian dipindah ke irisan kentang baru. Setelah itu, miselia baru yang tumbuh dipindahkan pada medium agar rye A atau V8 juice 20%.




Determinasi Mating Type Determinasi mating type dilaku-kan dengan menandingkan setiap isolat yang diperoleh dengan isolat Phytophthora infestans yang sudah diketahui (tester) A1 dan A2 pada medium agar V8 juice 10%. Isolat tersebut diamati setelah 7-10 hari diinkubasi pada suhu 20ºC di ruang gelap. Apabila isolat yang dideterminasi membentuk oospora dengan tester A1 dan tidak membentuk oospora dengan tester A2 berarti isolat tersebut dikatakan sebagai A2. Perlakuan setiap menguji isolat dengan minimal dua ulangan (Mosa, 1992). Analisis Allozyme Ditemukannya polimorfisme isoenzim pada isolate Phytophthora infestans oleh Tooley et al. (1985) telah dijadikan sebagai dasar penelitian genetik Phytophthora infestans. Populasi genetik isolat Phytophthora infestanasal Meksiko dan dari luar Meksiko polimorfik pada loki (loci) Gpi-1 (glucose-phosphate isomerase) dan Pep-1 (peptidase), tetapi isolat asal Meksiko berbeda ketika dianalisis dengan enzim ME (malic enzyme).
Analisis genotipik allozyme isolat Phytophthora infestans di Indonesia, hingga saat ini baru dilakukan oleh Nishimura et al. (1999), sehingga perlu dilakukan lebih lanjut. Kepekaan terhadap Metalaxyl Pengujian kepekaan (sensitivitas) terhadap metalaxyl dilakukan dengan menumbuhkan isolat Phytophthora infestans pada medium agar rye A dengan menambahkan metalaxyl (0; 0,1; 1; 10; dan 100 ppm). Setelah 7 hari diinkubasi pada suhu 20˚C di ruang gelap, dengan menghitung ED50 (dosis fungisida yang meng-hambat 50% pertumbuhan miselia). Ternyata dua isolat A2 dari Indone-sia tahan terhadap metalaxyl 10 ppm dan dua isolat A2 lainnya tahan terhadap metalaxyl 100 ppm.







TAKSONOMI

Domain : Eukaryota
Kingdom : Chromalveolata
Phylum : Heterokontophyta
Diviso : Eumycota Class : Oomycetes
Ordo : Peronosporales
Family : Pythiaceae
Genus : Phytophthora
Species : Phytophthora infestans



Pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan melaksanakan beberapa usaha secara terpadu, antara lain :
• Hanya menanam bibit yang sehat
• Tidak menanam tanaman di bekas lahan yang ditanami tanaman sejenis (contoh: kentang, tomat, terung).
• Penyemprotan dengan fungisida terutama fungisida yang mengandung tembaga hidroksida (Kocide 77WP), fungisida berbahan aktif mankozeb, propinep atau maneb. Pelaksanaan penyemprotan tergantung pada keadaan cuaca. Setiap habis hujan lebat penyemprotan dianjurkan untuk diulangi.
• Menanam jenis - jenis tanaman yang tahan.
Menjaga kebersihan lahan, sisa-sisa tanaman yang sakit harus segera dimusnahkan ( dibakar ) agar daur hidup jamur dapat diputuskan.


KESIMPULAN

• Meskipun Phytophthora infestans merupakan salah satu penyakit terpenting pada tanaman kentang di Indonesia, namun informasi penelitian tentang variasi mating type, strain resisten metalaxyl, epidemilogi, dan varietas tanaman yang resisten, masih sangat terbatas sehingga strategi pengendaliannya sulit diterapkan.

• Hawar daun kentang dan busuk (umbi) kentang, disebabkan oleh Phytophthora infestans , dan menyebabkan Kelaparan Besar Irlandia di pertengahan abad ke-19. Akibat wabah ini, penduduk Irlandia berkurang 30% dan terjadi emigrasi besar-besaran dari Irlandia ke Amerika Serikat.

• Perubahan populasi mating type A1 dan A2 di Indonesia masih perlu dipelajari menggunakan variasi populasi indigenous.

• Populasi mating type A2 di Indonesia yang diduga secara genetik merupakan turunan A1 masih perlu konfirmasi lebih lanjut tentang sensitivitasnya terhadap metalaxyl.

• Hawar Alternaria atau bercak kering/coklat, yang menyerang kentang dan tomat, disebabkan oleh fungus kosmopolit Alternaria (terutama A. solani)

• Penggunaan varietas tahan merupakan salah satu cara pengendalian hawar daun ini.




Daftar Pustaka

• http://www.deptan.go.id/ditlinhorti/.

• http://www.deptan.go.id/ditlin-tp/.

• http://www.deptan.go.id/setjen/humas/berita/Serangan%20OPT.htm

• Dr. Suryo Wiyono Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

• Anderson, PA. AA Cunningham, NG Pate, FJ Morales, PR Epstein, P. Daszak. 2004. Emerging infectious diseases of plants: pathogen pollution, climate change and agrotechnology drivers. Trends in Ecol. and Evol. 19: 535-543

• Bonaro, O., A Lurette,, C Vidal, J Fargues. 2007. Modelling temperature-dependent bionomics of Bemisia tabaci (Q-biotype) Physiological Entomology,32: 50-55

• Chakraborty, S, G Murray, N. White. 2002. Impact of Climate Change on Important Plant Diseases in Australia. A report for the Rural Industries Research and Development Corporation by April 2002. RIRDC Publication No W02/010

• Chen, C. N., Huang, L. H., 2004. Temperature effect on the life history traits of Thrips palmi Karny (Thysanoptera: Thripidae) on eggplant leaf.. Plant Protec. Bull. (Taipei), 46 : 99-111

• Boland, G.J. M.S. Melzer, A. Hopkin, V. Higgins, and A. Nassuth. 2004. Climate change and plant diseases in Ontario. Can. J. Plant Pathol. 26: 335–350
• Garret, K.A., S.P. Dendy, E.E. Fraih, M.N. Rouse, S.E. Travers. 2006. Climate change effect to plant disease: genome to ecosystem. Ann, Rev. Phytopathol 44;489-509

• Heagle, A.S. J. C. Burns, D. S. Fisher, And J. E. Miller. 2002. Effects of carbon dioxide enrichment on leaf chemistry and reproduction by twospotted spider mites (Acari: Tetranychidae) on white clover. Environ. Entomol. 31: 594-601

• Hikmah, Y. 1997. Tingkat parasitasi larva Spodoptera exigua pada musim hujan dan musim kemarau. Skripsi. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian IPB.

• Kalshoven, LGE. 1981. Pests of Crops in Indonesia. PT Ichtiar Baru-van Hoeve. Jakarta.

• Schwartz, H.F. dan S.K. Mohan. 1995. Compendium of Onion and Garlic Diseases. APS Press. Minnesota

• Semangun, H. 1989. Penyakit Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gajah Mada University Press. Yogyakarta

• Tondok, E. 2001. The Causal Agent of Twisting Disease of Shallot. Master Thesis. University of Goettingen, Germany

• Thesis. University of Wisconsin, Madison Webster, R.K. dan D.S. Mikkelsen. 1992. Compendium of Rice Diseases. APS Press. Minnesota

• Wiyono, S. 1997. Succession and Diversity of Shallot Phylloplane Fungi: Its Relation to Purple Blotch Disease. Master Thesis. University of Goettingen, Germany

Tidak ada komentar:

Posting Komentar